BERITASEJABAR.id – Kejaksaan Tinggi Jawa Barat (Kejati Jabar) serta Kanwil Ditjen Pajak (DJP) II Jabar menangani satu perusahaan berinisial PT GF yang bergerak di bidang otomotif karena tak menyetorkan pajak pertambahan nilai (PPN) hingga membuat negara merugi sebesar Rp2,6 miliar.
Asisten Pidana Khusus Kejati Jabar Riyono mengatakan dalam perkara itu ada dua tersangka yang berinisial YSM selaku wakil dari PT GF, dan AIW. Awalnya, kata dia, kasus itu diselidiki oleh Kanwil DJP Jabar II bersama Korwas Polda Metro Jaya.
“Adapun modus operandi yang dilakukan para tersangka yakni tidak melaporkan surat pemberitahuan tahunan (SPT) masa pajak pertambahan nilai (PPN),” kata Riyono, di Bandung, Senin (1/11/2021).
Dia menjelaskan, pihak DJP Jabar II kini telah menyerahkan para tersangka serta barang bukti lainnya untuk dilanjutkan penyidikan oleh Kejati Jabar.
“Karena wilkumnya ada di Kabupaten Bekasi, maka perkara ini akan disidangkan di Pengadilan Negeri Kabupaten Bekasi,” sebut Riyono.
Menurutnya para tersangka diduga tidak melaporkan SPT PPN itu sebagaimana diatur dalam Pasal 39 Ayat 1 huruf c dan melakukan pemungutan PPN namun tidak melakukan penyetoran sebagaimana diatur dalam Pasal 39 Ayat 1 huruf i UU Nomor 6 Tahun 1983.
Sementara itu, Kepala Kejaksaan Tinggi Jabar Asep N Mulyana mengatakan dalam penegakan hukum, pihaknya tidak hanya menyasar ke perorangan, melainkan juga ke korporasi atau badan.
Karena, kata dia, korporasi atau badan bisa saja menampung instrumen kejahatan. Sehingga suatu korporasi bisa saja ditindak secara hukum guna diminta pertanggungjawaban.
“Maka tanggung jawabnya dua, baik perorangan bagian dari korporasi, maupun korporasinya sendiri, jadi kami gabungkan tuntutannya,” ujar Asep.
Adapun sebelum menempuh jalur hukum, DJP Jabar II juga telah melakukan sejumlah tahapan-tahapan peringatan mulai dari imbauan, meminta pembetulan, dan meminta membayarkan setoran.
Namun, Kepala Kanwil DJP Jabar II Harry Gumelar mengatakan, sejumlah peringatan itu tidak diindahkan sehingga dengan berat hati pihaknya mulai melakukan penyelidikan untuk penegakan hukum.
“SPT yang diperkarakan itu pada PPN tahun 2018, kami belum melihat lagi, seandainya ada lagi nanti kami tindak lanjuti,” jelas Harry.
Selain itu, menurutnya kasus tersebut sama saja dengan tindak pidana korupsi. Pasalnya PPN yang tidak disetorkan tersebut bukan merupakan uang dari perusahaan itu, melainkan uang dari masyarakat yang membayar pajak melalui pembelian produk atau pembelian jasa, dan sebagainya.
“Artinya mereka memungut uang negara dan tidak disetorkan, sama saja kalau di birokrasi mereka melakukan korupsi,” ujar Harry.