BERITASEJABAR.id – Pernyataan Anggota Komisi III F-PDIP Arteria Dahlan dalam Rapat Kerja Komisi III DPR RI bersama Kejaksaan Agung yang dipimpin langsung oleh Jaksa Agung ST. Burhanuddin Senin (17/1) di ruang rapat Kompleks DPR/MPR Jakarta, yang awalnya meminta agar jajaran Kejaksaan Agung bersikap profesional dalam bekerja yang terkahir meminta Jaksa Agung meminta Jaksa Agung memecat Kajati yang menggunakan bahasa sunda ketika rapat kerja.
Pernyataan tersebut telah menimbulkan ketersinggungan kami sebagai masyarakat Tatar Sunda, baik Suku Bangsa Sunda Asli, Diaspora Sunda, Sunda Perantauan dan Perantauan yang telah berakulturasi dengan budaya sunda.
Apalagi dikatakan pemakaian bahasa sunda di lingkungan kejaksaan tinggi terutama di rapat kerja dapat menjadi sesuatu yang menakutkan.
Dua Hal yang menunjukkan kesalahan Arteria berlogika yaitu penggunaan bahasa sunda sebagai tindakan ketidakprofesionalan dan menimbulkan ketakutan bagi yang tidak bisa atau tidak mengerti bahasa sunda.
Pernyataan Arteria Dahlan tersebut jelas menggambarkan kepicikan dan kesempitan pengetahuan dirinya.
Penggunaan bahasa selipan dalam komunikasi publik bukan merupakan hal yang aneh diseluruh tanah air sebagaimana penggunaan selipan bahasa asing terutama Inggris dalam mempresentasikan apa yang ingin dipaparkan baik karena ingin dilihat lebih pintar atau karena belum ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia baku.
Di Jawa Barat sendiri di beberapa kabupaten/kota termasuk di Ibukota Propinsi Kota Bandung pemerintah daerahnya mewajibkan menggunakan bahasa ibu yaitu bahasa sunda pada hari hari tertentu termasuk dalam rapat sebagai sebuah kebijakan dalam rangka menjaga jati diri dan memelihara bahasa ibu yang mana setiap tanggal 21 Februari diperingati sebagai Bahasa Ibu International.
Keberadaan Perpres No. 63/2019 tentang kewajiban di kantor pemerintah dan swasta wajib menggunakan bahasa Indonesia, tidak harus diartikan jika ada pejabat publik atau pengusaha besar (konglomerat) yang menyelipkan beberapa kalimat dan kata (diksi) bahasa ibunya sebagai kejahatan, tindakan tidak profesional bahkan tindakan tidak nasionalis.
UUD 1945 Pasal 32 dan telah lahirnya Undang Undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dimana bahasa sebagai salah satu dari 10 obyek Pemajuan Kebudayaan, mengharuskan pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota menuntaskan kinerja riil untuk menyusun Pedoman Penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah sehingga melahirkan Strategi Kebudayaan Nasional sehingga cita cita terbangunnya Jati Diri Bangsa bukan sekedar omongan pemanis mulut para pemangku Kebijakan terutama di Pusat Pemerintahan di Jakarta.
Tidak tuntasnya strategi kebudayaan nasional melahirkan perdebatan ancaman SARA yang dipolitisir termasuk ketakutan yang paling lucu (bodor) dalam cerita perdebatan di DPR RI yaitu penggunaan bahasa sunda dikaitkan dengan ketidakprofesionalan aparatur dan hal yang menakutkan.
Dalam kesempatan ini kami sebelum menyatakan sikap atas Pernyataan Bapak Arteria Dahlan di Rapat Kerja III yang merupakan tempat Rapat terhormat bukan tempat melakukan provokasi politik apalagi untuk menyalurkan insting politik kelas rendahan dengan lidahnya yang tak bertulang .
Kita kembali pada apa yang menjadi kata sakti pada kaki Garuda Indonesia yang harus dicatat lengkap “Bhineka Tunggal Ika Tan Hanna Darma Mangrwa” ( Berbeda itu satu tidak ada darma/kerja kebaikan yang mendua), ternyata nenek moyang kita mempetuahkan Dalam Kesatuan dan Persatuan Nasional ini yang kita perlomba-lombakan adalah berbuat kebaikan artinya melakukan hal yang terbaik dari peran dan amanah yang diberikan Illahi, negara dan rakyat.
Mengingat dari penilaian kami sebagai rakyat (publik) menilai apa yang dilakukan Bapak Arteria Dahlan yang tidak menunjukkan sebagai wakil rakyat yang terhormat, profesional dan beradat dimana pada peristiwa ini lidah tak bertulangnya telah menyinggung akal sehat, perasaan kami masyarakat Tatar Sunda yang selalu berada di garis depan menjaga persatuan dan kesatuan nasional dibawah panji panji toleransi dan keadaban sebagai warga negara, kami menyampaikan tuntutan sebagai berikut :
Meminta Ketua Umum PDIP Dr (Hc) Megawati Soekarnoputri yang telah lama memahami kebudayaan urang Sunda segera memecat saudara Arteria Dahlan dengan melakukan Pergantian Antar Waktu (Recalling) sebagai anggota DPR RI.
Kemudian, memohon Mahkamah Kehormatan Dewan sebagai alat kelengkapan DPR RI untuk menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat untuk memproses secara aturan dan menyatakan dari perilaku dan kinerjanya tidak memenuhi syarat lagi menjadi anggota DPR RI periode 2019-2024.
Demikian pernyataan sikap dan tuntutan ini disampaikan oleh kami kumpulan organisasi dan pemangku kepentingan masyarakat Tatar Sunda untuk menjaga harga diri dan kehormatan kami sebagai warga bangsa yang merupakan penjaga Persatuan dan Kesatuan NKRI sejak NKRI dalam proses menuju kemerdekaan, perang kemerdekaan, hingga masa 3 Orde Pembangunan dan demokrasi yang berlangsung.