Angka tersebut meningkat dibanding Februari 2024 yang mencatat 1,79 juta pengangguran, atau naik 20 ribu orang (1,04 persen). “Ada pertambahan pengangguran 0,02 juta orang, tentu perlu ditinjau dari berbagai faktor, termasuk pertambahan penduduk dan PHK,” ujar Kepala BPS Jabar, Darwis Sitorus, Senin (5/5).
Statistisi Ahli Madya Isti Larasati Widiastuty menambahkan bahwa mereka yang terhitung sebagai pengangguran adalah warga usia 15 tahun ke atas yang saat disurvei tidak bekerja, mencari kerja, atau mempersiapkan usaha. “Salah satu faktornya memang karena PHK,” jelasnya.
Ironisnya, meski jumlah pengangguran naik, tingkat pengangguran terbuka (TPT) justru turun menjadi 6,74 persen dari sebelumnya 6,91 persen. Ini berarti proporsi angkatan kerja yang tak terserap pasar kerja menurun.
Lulusan SMK tercatat sebagai kelompok dengan TPT tertinggi, yakni 12,42 persen, disusul lulusan perguruan tinggi (9,47 persen) dan SMA (9,28 persen). Fenomena ini dinilai sebagai indikasi lemahnya koneksi antara dunia pendidikan dan kebutuhan industri.
“SMK dirancang untuk siap kerja, tapi faktanya masih tinggi penganggurannya. Ini soal link and match yang belum optimal dan juga budaya pilih-pilih kerja,” tambah Isti.
Dalam struktur ketenagakerjaan, pekerja informal mendominasi sebesar 55,89 persen, sedangkan pekerja formal hanya 44,11 persen. Sektor perdagangan menjadi penyerap tenaga kerja tertinggi (23,10 persen), diikuti industri pengolahan (18,12 persen) dan pertanian (15,57 persen).
Sementara itu, secara nasional, Jawa Barat tak lagi berada di peringkat pertama TPT tertinggi. Kini Jabar menempati posisi ketiga di bawah Papua dan Kepulauan Riau