Pers Independen Atau Pers Pesanan ? Krisis Etika di Dunia Jurnalistik

0
34

BERITASEJABAR.id – Di tengah derasnya arus informasi saat ini, keberadaan pers seharusnya menjadi penopang utama bagi demokrasi. Pers adalah “pilar keempat” setelah *eksekutif, legislatif, dan yudikatif,* dengan tugas mulia: menyampaikan kebenaran, mengawasi kekuasaan, serta menjadi jembatan antara Rakyat dan Pemerintah. Namun, yang terjadi di lapangan justru kerap membuat kita prihatin.

Fenomena banyaknya oknum wartawan/jurnalis yang lebih memilih berburu kasus untuk kemudian “ditutup” dengan imbalan, semakin mencoreng wajah jurnalistik. Alih-alih menegakkan fungsi kontrol sosial, berita dijadikan alat transaksi. Kebenaran diperdagangkan, dan publik kehilangan haknya untuk mendapatkan informasi yang utuh. Praktik “takedown demi perut” ini bukan hanya merusak marwah profesi, tetapi juga membuat masyarakat semakin tidak percaya pada media.

Di sisi lain, kita juga menyaksikan tumbuh suburnya media yang berafiliasi dengan institusi pemerintahan atau kelompok politik tertentu. Seolah-olah pers menjadi corong kepentingan, bukan suara publik. Independensi yang seharusnya menjadi roh utama pers terkikis habis, tergantikan oleh kepentingan sempit. Akibatnya, berita yang tersaji cenderung timpang: yang menguntungkan ditonjolkan, yang merugikan disembunyikan.
Dampaknya jelas: publik semakin skeptis. Masyarakat bingung membedakan mana berita yang benar, mana yang pesanan. *Krisis kepercayaan ini amat berbahaya, sebab tanpa kepercayaan publik, pers kehilangan legitimasi. Dan ketika pers kehilangan legitimasi, demokrasi pun goyah.*

Namun kita juga tidak bisa menutup mata terhadap realitas ekonomi para jurnalis. Banyak wartawan di lapangan bergaji rendah, bahkan ada yang bekerja tanpa kepastian honor. Kondisi ini membuat mereka rentan tergoda mencari “jalan pintas”. Artinya, masalah *kesejahteraan insan pers juga perlu segera dibenahi. Media yang sehat bukan hanya yang beritanya berimbang, tetapi juga yang mampu menjamin kehidupan layak bagi wartawannya.*

Jalan keluarnya tentu bukan perkara mudah, tetapi bukan pula mustahil.

*Pertama,* organisasi pers dan dewan redaksi harus memperkuat komitmen menjaga integritas, dengan mengawasi dan menindak tegas oknum yang menyalahgunakan profesi.

*Kedua,* media harus berani menegaskan independensi, meski kadang berhadapan dengan tekanan politik atau ekonomi.

*Ketiga,* masyarakat perlu terus didorong agar cerdas dalam bermedia: memilah informasi, tidak mudah percaya pada berita sensasional, dan kritis terhadap sumber bacaan.

Namun di balik semua kegelisahan itu, masih banyak jurnalis yang bekerja dengan hati, yang tetap menjunjung tinggi kode etik, dan tidak rela profesinya dijual murah. Kepada mereka, kita patut memberi apresiasi setinggi-tingginya. Sebab di tengah badai pragmatisme, merekalah pelita yang menjaga marwah pers agar tidak padam. *Menjadi wartawan bukan sekadar mencari nafkah, tetapi juga mengemban misi besar: menulis sejarah, menjaga kebenaran, dan memberi suara bagi yang tak terdengar. Setiap berita yang ditulis dengan jujur adalah amal kebaikan yang abadi. Maka, jangan biarkan idealisme padam hanya karena godaan sesaat.*

Pers ada bukan untuk melayani segelintir kepentingan, melainkan untuk melayani publik. Jika pers mampu kembali pada khittah independensinya, maka ia akan menjadi cahaya penuntun bagi masyarakat. Tapi jika terus larut dalam arus pragmatisme, jangan salahkan bila suatu hari nanti publik benar-benar meninggalkan media, dan demokrasi kehilangan salah satu pondasi terkuatnya.***(Red)